Hukum Bersyarat
HUKUM BERSYARAT
Kaidah dasar pada ayat-ayat yang berisi hukum-hukum bersyarat adalah hukum-hukum itu tidak boleh ditetapkan kecuali setelah syarat-syaratnya terpenuhi. Namun hukum asal ini tidak berlaku pada beberapa ayat.
Ini merupakan kaidah yang sangat jeli. Ketika Allâh Azza wa Jalla menetapkan hukum pada sesuatu dan juga menetapkan syarat, maka penetapan hukum ini sangat bergantung dengan syarat yang ditetapkan Allâh Azza wa Jalla . Hukum seperti ini sangat banyak dalam al-Qur’ân. Misalnya firman Allâh Azza wa Jalla,
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. [an-Nisa’/4:12]
Suami akan mendapatkan setengah dari harta waris bila syaratnya terpenuhi, bila tidak terpenuhi maka dia tidak berhak mendapatkan setengah. Dan masih banyak contoh lain dalam al-Qur’ân yang tidak mungkin dibawakan satu persatu. Dan tujuan pembahasan kaidah ini bukan untuk membahas ayat-ayat atau hukum-hukum yang sejalan dengan kaidah diatas, namun sebaliknya yaitu membahas beberapa contoh hukum yang dalam penetapannya keluar dari kaidah diatas. Artinya syarat dalam hukum itu tidak menjadi patokan dalam penetapan hukumnya. Inilah yang dibahasakan para Ulama tafsir dengan istilah, ” هَذَا قَيْدٌ غَيْرُ مُرَادٍ “ (Sifat ini tidak diinginkan). Meski ucapan ini masih perlu dikritisi, karena semua kalimat dalam al-Qur’ân itu, pasti disengaja oleh Allâh untuk suatu hikmah yang terkadang diketahui manusia dan terkdang tidak. Maksud perkataan mereka, “tidak diinginkan” adalah tidak diinginkan sebagai syarat dalam penetapan hukum. Misalnya dalam beberapa ayat berikut :
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allâh yang dia tidak memiliki satu dalilpun tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. [al Mukminûn/23:117]
Kalimat “…yang dia tidak memiliki satu dalilpun tentang itu…” bukan dimaksudkan sebagai syarat penetapan hukum kafir bagi pelakunya, karena sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa orang yang beribadah kepada selain Allâh itu telah kafir dan dia pasti tidak memiliki dalil. Allâh Azza wa Jalla mengaitkan hukum syirik atau kafir dalam ayat itu dengan syarat tidak memiliki dalil untuk memberikan gambaran betapa syirik itu sangat buruk dan sama sekali tidak memiliki dalil syar’i ataupun dalil akal.
2. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
… Dan anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,.. [an-Nisâ’/4:23]
Kalimat ,”.. yang ada dalam pemeliharaanmu..” bukan sebagai syarat penetapan hukum haram menikahi anak-anak tiri. Karena anak-anak tiri itu tetap haram dinikahi baik berada dalam pemeliharaannya atau dalam pemeliharaan orang lain. Lalu kenapa Allâh Azza wa Jalla membawakan kalimat yang seolah-oleh syarat ? Jawabnya, untuk memberikan gambaran betapa buruknya prilaku orang yang memperbolehkan menikahi anak-anak tiri.
3. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan [al-Isrâ’/17:31]
Kalimat ,”…karena takut kemiskinan” dalam ayat diatas bukan dimaksudkan sebagai syarat terlarangnya pembunuhan, karena membunuh tetap dilarang dalam kondisi takut miskin atau dalam kondisi lain. Namun takut miskin sering menjadi faktor pemicu pembunuhan, oleh karena itu disebutkan dalam ayat diatas.
Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Dan suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa iddah (menanti) itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlâh. (al-Baqarah/2:228), sebagian para Ulama’ memandang bahwa ayat ini termasuk kelompok ayat yang menerangkan syarat namun tidak menjadi patokan penetapan hukum, artinya si suami tetap berhak meruju’ istri yang ditalaknya, baik dia ingin ishlâh atau tidak. Jadi penyebutan syarat ” Jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlâh.” hanya sebagai motivasi agar para suami konsisten dengan perintah Allâh yang salah satu diantara perinath itu adalah memiliki keinginan untuk ishlâh. Sementara sebagian lagi memandang bahwa syarat yang disebutkan dalam ayat di atas sebagaimana kaidah dasarnya, artinya si suami tidak berhak untuk meruju’ istri yang masih dalam masa iddah kecuali jika dia berkeinginan untuk ishlâh. Dan jika ia tidak memiliki keinginan untuk ishlâh, maka dia tidak berhak untuk ruju’.
4. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang pencatat, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). [al-Baqarah/2:283]
Kalimat “Jika kamu dalam perjalanan..” bukan dimaksudkan sebagai syarat sah rahn (gadai), karena rahn akan tetap sah apabila dilakukan saat bepergian atau tidak.
5. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai [al-Baqarah/2:282]
Sekilas terpahami dari ayat ini bahwa saksi yang terdiri dari satu lelaki dan dua wanita itu boleh dipakai dan persaksiannya bisa diterima apabila tidak ada saksi lelaki yang berjumlah dua orang. Padahal yang benar tidak demikian, persaksiaan satu lelaki ditambah dua wanita tetap diterima, meskipun ada dua lelaki yang bisa menjadi saksi. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan metode diatas dalam rangka menerangkan cara terbaik menjaga hak.
Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla :
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَىٰ
Oleh sebab itu berikanlah peringatan ! jika peringatan itu bermanfaat, [al-‘A’la/87:9]
Sebagian orang mengira bahwa syarat yang ada dalam ayat ini sama seperti syarat yang ada pada ayat sebelumnya. Artinya memberikan peringatan itu tetap wajib, tanpa peduli apakah peringatannya itu bermanfaat atau tidak. Ini adalah pendapat yang keliru, karena pemberian peringatan itu boleh dilakukan jika bisa mewujudkan manfaat. Jika aksi pemberian peringatan itu akan menimbulkan dampak buruk yang lebih kuat daripada kebaikan yang terwujud, maka dalam kondisi seperti ini dilarang memberikan peringatan. Sebagaimana terlarangnya mencela sesembahan orang-orang kafir dan musyrik jika celaan itu akan menjadi alasan bagi mereka untuk mencela Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana juga, amar bil ma’rûf (menyuruh orang melakukan kebaikan) itu dilarang bila berpotensi besar menimbulkan keburukan yang lebih buruk daripada manfaat yang diinginkan atau menghilangkan manfaat yang lebih besar daripada manfaat yang akan dianjurkan. Begitu pula dengan pemberian peringatan. ini semua termasuk perincian dari firman Allâh Azza wa Jalla :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik [an-Nahl/16:125]
5. firman Allâh Azza wa Jalla :
وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
… dan mereka membunuh para nabi tanpa alasan yang dibenarkan. [al-Baqarah/2:61]
Seolah-olah terpahami dari ayat ini bahwa pembunuhan terhadap para nabi itu diperbolehkan kalau ada alasan yang dibenarkan. Ini adalah pemahaman yang salah, karena mereka tidak akan pernah memiliki alasan yang dibenarkan. Berbeda dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allâh (membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar ( al-An’âm/6:151), syarat dalam firman ini bukanlah termasuk syarat yang tidak diinginkan. Kalimat “…kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar” merupakan syarat penetapan hukum, artinya pembunuhan itu haram bila dilakukan dengan tanpa alasan yang dibenarkan syari’at.
6. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih) [al-Mâidah/5:6]
Seakan terpahami dari ayat diatas bahwa tidak adanya air yang menyebabkan tayammum boleh dilakukan apabila itu terjadi dalam perjalanan, padahal tidak demikian. Ketika tidak ada air, maka tayammum boleh dilakukan baik saat perjalanan atau tidak. Kalimat “dalam perjalanan” disebutkan bukan sebagai syarat tidak ada air, namun untuk menjelaskan bahwa biasanya dalam perjalanan air susah didapatkan.
7. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar[1] shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. [an-Nisâ’/4:101]
Seakan terpahami bahwa takut merupakan syarat qashar, padahal para ulama sepakat, takut bukan syarat disyari’atkannya qashar, bukan pula syarat sah qashar.
inilah beberapa contoh ayat al-Qur’ân yang berisi syarat yang tidak ditujukan sebagai syarat penetapan hukum. wallahu a’lam
(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, kaidah ke 26)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Menurut pendapat Jumhûr arti qashar di sini ialah shalat yang empat raka’at dijadikan dua raka’at
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3649-hukum-bersyarat.html